Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِندَ اللَّهِ
اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ
وَالْأَرْضَ مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۚ ذَٰلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ ۚ
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنفُسَكُمْ ۚ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ
كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ
مَعَ الْمُتَّقِينَ
“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi
Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah
(ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri dalam bulan
yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana
mereka memerangi semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta
orang-orang yang bertaqwa.” (QS. At Taubah: 36)
Yang dimaksud dengan empat bulan haram pada ayat ini adalah:
1. Bulan Dzul Qa’dah
2. Bulan Dzul Hijjah
3. Bulan Muharam
4. Bulan Rajab
Hadits Nabi menyebutkan 4 bulan ini dengan istilah
tsalatsatun mutawaliyat (tiga bulan berturut-turut) dan bulan Rajab Mudhar.
[1]
Sebagian ulama’ mengistilahkannya: tsalatsatun sard (tiga bulan berturut-turut) wa wahidun fard (satu bulan sendirian, yaitu bulan Rajab.
Empat bulan ini disebut haram karena pada empat bulan ini diharamkan berperang,
[2] dan ini adalah ajaran yang telah ada semenjak Nabi Ibrahim dan Nabi Isma’il – ‘Alaihimas Salam -.
Dan hal ini masih terus dipelihara oleh
bangsa Arab sampai masa diutusnya Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa
Sallam menjadi seorang nabi dan rasul.
Di buku-buku tafsir dan sejarah
diceritakan bahwa karena ketaatan bangsa Arab terhadap ajaran ini,
sampai-sampai, seandainya ada seseorang yang bertemu dengan pembunuh
orang tuanya, atau saudaranya atau sanak familinya pada bulan-bulan ini,
maka pertemuan ini tidak sampai menggerakkannya untuk melakukan
tindakan balas dendam, padahal orang Arab pada zaman itu terkenal sangat
pendendam.
Taujih Rabbani Terkait 4 Bulan Haram
Ada tiga taujih Rabbani terkait dengan empat bulan haram ini, yaitu:
- Fala tazhlimu fihinna anfusakum. Singkatnya, pada empat bulan ini, orang-orang yang beriman dilarang menzhalimi diri sendiri.
- Waqatilul musyrikina kaffatan kama yuqatilunakmu kaffah.
Maksudnya, kaum muslimin tidak boleh kehilangan kewaspadaannya dalam
empat bulan ini, sebab bisa saja ada pihak-pihak yang tidak mengindahkan
larangan berperang ini, lalu mereka menyerang kaum muslimin. Jika hal
ini terjadi, kaum muslimin dibenarkan melakukan peperangan untuk membela
diri.
- Wa’lamu annallaha ma’al muttaqin. Maksudnya adalah bahwa kaum muslimin hendaklah terus menjaga dan meningkatkan ketaqwaannya agar tetap mendapatkan ma’iyyatullah (kebersamaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala).
Maksud Menzhalimi Diri Sendiri
Yang dimaksud dengan menzhalimi diri sendiri yang dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala pada ayat ini adalah:
- Tidak melakukan perbuatan baik, padahal peluang dan kesempatan terbuka baginya, dan atau
- Melakukan perbuatan buruk, walaupun dengan alasan ada peluang dan
kesempatan sekalipun, terlebih lagi jika untuk melakukan keburukan
seseorang sampai ke tingkat “mengorbankan” harta, jiwa dan nyawa.
Menzhalimi Diri Sendiri Berlaku Sepanjang Tahun
Sebenarnya tindakan menzhalimi diri sendiri dilarang oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sepanjang tahun.
Adapun adanya pelarangan perbuatan ini
dalam empat bulan ini bersifat pengukuhan dan penegasan. Seakan-akan
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman: “Janganlah kamu melakukan perbuatan menzhalimi diri sendiri kapan saja sepanjang tahun, terlebih lagi pada empat bulan haram”.
Kaum Muslimin Mesti Bersatu, Khususnya Saat Menghadapi Keculasan Musuh
Pada taujih Allah Subhanahu Wa Ta’ala
yang kedua dijelaskan bahwa kaum muslimin tidak boleh kehilangan
kewaspadaannya, sebab bisa jadi ada musuh yang menyerang kaum muslimin
pada empat bulan haram.
Dan jika kaum muslimin diperangi oleh
musuh pada empat bulan haram, maka kaum muslimin berkewajiban untuk
memerangi dan melawan mereka sebagai bentuk bela diri.
Dan dalam hal ini, Allah Subhanahu Wa
Ta’ala memerintahkan kepada kaum muslimin agar dalam menghadapi musuh
itu mereka bersatu dan tidak berpecah belah. Istilahnya “kaffatan”.
Sebab para musuh pun dalam memerangi kaum muslimin juga bersatu dan
beraliansi. Mereka bersepakat untuk menjadikan kaum muslimin sebagai
common enemy atau musuh bersama bagi mereka.
Hal ini memberi pengajaran bahwa kaum
muslimin diperintahkan untuk terus menjaga dan meningkatkan persatuan
dan kesatuan mereka, serta dilarang berpecah belah, khususnya di saat
mereka sedang berperang, lebih khusus lagi di saat kaum muslimin
diserang, dan lebih-lebih khusus lagi, mereka diperintahkan untuk
menjaga dan meningkatkan persatuan dan kesatuan mereka di saat mereka
berada di empat bulan haram. Istilah lainnya, mereka diperintahkan untuk
terus melakukan konsolidasi, koordinasi dan merapatkan barisan,
khususnya pada empat bulan haram ini.
Di antara wujud persatuan adalah
‘adam at takhadzul (tidak dibenarkan saling membiarkan saudaranya diperangi musuh tanpa memberikan pertolongan, pembelaan dan dukungan apa pun).
[3]
Ma’iyyatullah (Kebersamaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala)
Pada taujih Rabbani yang ketiga
dijelaskan bahwa jika kaum muslimin terus menjaga, memelihara dan
meningkatkan ketaqwaan mereka kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sehingga
sifat taqwa itu telah melekat kepada mereka, dan karenanya mereka
disebut muttaqin, maka mereka akan mendapatkan ma’iyyatullah
(kebersamaan Allah Subhanahu Wa Ta’ala)
Yang dimaksud “kebersamaan” di sini
adalah kebersamaan atau ma’iyyatullah yang bersifat khusus, dalam arti
Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan mendukung mereka, membela dan memberi
kemenangan kepada mereka dalam menghadapi musuh-musuh mereka.
Sebagaimana ma’iyyatullah kepada nabi Musa ‘Alaihis Salam, sebagaimana
diceritakan dalam Al Quran dan sebagaimana ma’iyyatullah kepada
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan Abu Bakar Ash Shiddiq
Radhiyallahu Anhu saat keduanya berada di dalam gua Tsur, sebagaimana
diceritakan dalam Al Quran.
Haji dan Puasa Ramadhan
Para ulama’ menjelaskan bahwa
ditetapkannya bulan Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah dan Muharram sebagai tiga
bulan haram adalah karena adanya momentum ibadah haji. Sedangkan
ditetapkannya bulan Rajab sebagai satu bulan haram adalah karena
momentum menyambut bulan suci Ramadhan.
Kenapa momentum menyambut bulan suci Ramadhan tidak pada bulan Sya’ban saja yang merupakan satu bulan sebelum Ramadhan?
Wallahu a’lam, dimungkinkan karena bulan
Sya’ban dipergunakan untuk “menutup” celah-celah dan
kekurangan-kekurangan terkait dengan melemahnya komitmen seseorang pada
bulan-bulan setelah Syawal sampai bulan Rajab, dimana sekiranya momentum
penyambutan itu ditempatkan pada bulan Sya’ban, maka tidak ada waktu
atau kesempatan lagi untuk “melunasi” kelemahan komitmen pada-pada
bulan-bulan sebelumnya. Dengan demikian, maka pengingatan akan datangnya
bulan suci Ramadhan dilakukan pada bulan Rajab, sedangkan bulan Sya’ban
dipergunakan untuk “melunasi” kelemahan komitmen pada bulan-bulan
lainnya.
[1] Hadits muttafaqun ‘alaih, lihat Bukhari [4406] dan Muslim [1679].
[2] Penegasan ini juga ada dalam hadits muttafaqun ‘alaih sebagaimana disebut dalam catatan kaki sebelumnya.
[3] Abu Zahrah,
zahratut-tafasir, juz. VI, hal. 3300
Oleh : Musyaffa Ahmad Rahim
About author
Curabitur at est vel odio aliquam fermentum in vel tortor. Aliquam eget laoreet metus. Quisque auctor dolor fermentum nisi imperdiet vel placerat purus convallis.